Menteri PU Diminta Tinjau Kembali Sertifikasi LPJKN

BKSP-ultah - 02

Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto, harus meninjau kembali program sertifikasi kompetensi yang dibuat oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJKN) yang diberlakukan saat ini, khususnya skema sertifikasi.

“Kami mengharapkan petugas yang bertanggung jawab untuk membuat skema sertifikasi tersebut, harus yang benar-benar memahami kompetensi kerja,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeknas), Manahara Siahaan, di Jakarta, Rabu (16/7).

Manahara mengatakan, jika personil yang berwenang itu tidak berkompeten bisa dipastikan Ia membuat peraturan yang merugikan negara, khususnya dalam penyerapan anggaran negara yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional.

Menurut Manahara, kontraktor-kontraktor BUMN serta kontraktor dengan kualifikasi B2 lainnya yang ada pada saat ini, tidak dapat memenuhi persyaratan SDM karena penanggung jawab teknis (PJT) dan penanggung jawab klasifikasi (PJK) tidak memenuhi persyaratan kompetensi sebagaimana dipertanyakan dalam skema sertifikasi yang diterbitkan oleh LPJK. Akibatnya, kualifikasi badan usaha tersebut harus diturunkan menjadi kualifikasi menengah.

Dijelaskannya, pemberlakuan skema sertifikasi yang diterbitkan oleh LPJK dalam pelaksanaan uji kompetensi tenaga ahli konstruksi mengakibatkan banyak tenaga ahli konstruksi yang dinyatakan tidak kompeten.

Dimana, seorang tenaga ahli konstruksi menurut skema sertifikasi tersebut harus pernah berprofesi dan kompoten sebagai konsultan perencana, konsultan pengawas dan sekaligus sebagai pelaksana.

“Sebagai contoh, kami lampirkan skema sertifikasi bagi ahli teknik jalan. Dimana, unit-unit kompetensi yang ada mensyaratkan seorang ahli teknik jalan wajib memiliki kompetensi sebagai perencana, pelaksana dan pengawas sekaligus,” kata dia.

Padahal, lanjutnya, di dunia konstruksi seorang tenaga ahli yang bekerja sebagai perencana, pelaksana maupun pengawas memiliki karakteristik kompetensi berbeda-beda.

Dilanjutkannya, seorang ahli perencana jalan akan menghasilkan perhitungan -perhitungan pembuatan jalan berdasarkan standar dan norma-norma yang ada, sedangkan seorang ahli pelaksana jalan akan bergelut dengan manajemen konstruksi pelaksanaan pembangunan jalan dan seorang ahli pengawas jalan akan menggunakan dokumen-dokumen lelang yang telah disepakati sebagai acuan kerjanya dalam melaksanakan pengawasan.

Jika pelaksanaan uji kompetensi dilaksanakan sesuai dengan skema sertifikasi yang ada, maka dapat kami pastikan tidak ada seorang tenaga ahli konstruksi yang dapat memenuhi persyaratan kompetensi tersebut. Terutama, katanya, untuk kualifikasi utama.

Oleh karena itu, yang paling utama yang diberikan kepada tenaga ahli konstruksi setelah adanya skema sertifikasi ini, maka acuannya manjadi tidak layak.

Karena itu, jelasnya, apabila hal ini masih tetap dipertahankan, maka tidak perlu lagi ada pembagian badan usaha yang bergerak dibidang usaha jasa perencana, pelaksana dan pengawasan. Jadi, cukup dengan satu badan usaha bisa merangkap sebagai perencana, pelaksana dan pengawasan sekaligus.

Selain itu, lanjutnya, dalam hal penerimaan pajak, pembagian klasifikasi lapangan usaha disektor konstruksi harus dirubah karena pajak penghasilan bagi usaha jasa perencana dan usaha jasa pelaksana saat ini berbeda.

“Dan seluruh kontrak konstruksi yang dilakukan olek kontraktor BUMN atau kontraktor besar lainnya perlu dipertanyakan apakah memiliki penanggung jawab teknis dan penanggung jawab klasifikasi memiliki kompetensi sebagaimana tertera dalam skema sertifikasi yang ditetapkan oleh LPJK,” kata Manahara.

About

View all posts by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *