- reset +
Members Login


Selamat Datang di Website BKSP Jawa Tengah | Membangun Infrastruktur SDM Kompetensi
Home Profil BKSP

BKSP Jawa Tengah

PDFCetakE-mail

Dalam era globalisasi pasar kerja, masih dihadapkan berbagaii permasalahan, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yang ditandai dengan angka pertumbuhan kesempatan kerja yang tidak sebanding dengan angka pertumbuhan angkatan kerja , rendahnya kualitas, daya saing dan produktivitas tenaga kerja serta iklim investasi yang belum kondusif. Identifikasi permasala han tersebut diatas didasarkan atas beberapa hasil penelitian dan survey yang dilakukan oleh IMD (international Management Development) World competitiveness yearbook 2005 maupun Sakernas 2005. Rendahnya pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan rendahnya tingkat produktivitas, sehingga mengakibatkan jumlah penganggur di Jawa Tengah mencapai lebih 1,4 juta orang dan penduduk miskin.

 

Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNDP menyatakan bahwa human development indeks indonesia pada tahun 2003 berada pada peringkat ke 112 dari 175 negara didunia. Demikian pula tingkat produktivitas bisnis dan sektor pemerintah di Indonesia pada tahun 2005, berada pada peringkat ke 56 dari 60 negara yang disurvey. Kondisi memprihatinkan tersebut , semakin diperburuk oleh iklim investasi di tanah air yang belum kondusif. Dari 155 negara yang disurveys indonesia menduduki peringkat ke 115 masih dibawah Piliphina pada peringkat 113. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang secara langsung menghambat masuknya investasi itu sendiri seperti pendirian usaha, perijinan, penggunaan tenaga kerja dan PHK, registrasi kekayaan, prosedur mendapatkan kridit, perlindungan hukum investor, perpajakan, perdagangan internasional, jangka waktu dan penyelesaian kontrak, restribusi dan biaya siluman. Hal ini diperparah bahwa pelaku ekonomi berupa SDM berkualitas sulit didapatkan sehingga dipandang bahwa SDM kita mempunyai produktivitas yang cukup rendah. Tingkat produktivitas SDM di Jawa Tengah menduduki urutan ke 24 dari 33 provinsi di Indoensia dan urutan ke 6 dari jumlah provinsi di Jawa. Adanya tuntutan masyarakat pada era globalisasi ini untuk dilayani secara cepat, produk barang maupun jasa yang ditawarkan dari berbagai sektor bermutu tinggi dan standar, mempunyai harga yang murah , mempunyai daya saing yang tinggi dan pelayanan yang cepat.

Untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut setiap badan usaha atau perusahaan penghasil barang atau jasa untuk memenuhi dan mampu bersaing untuk menggunakan tenaga kerja yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi baik keterampilan dan keahlian dalam melakukan inovasi, ketepatan kecepatan, maupun penguasaan informasi komunikasi dan intelektual capital yang berbasis kompetensi. Sisi lain masalah pengangguran yang sampai dengan saat ini sudah mencapai 1,4 juta orang di Jawa Tengah pada akhir tahun 2007 sering dilihat sebagai masalah penyempitan lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja atau secara artifisial adalah kurangnya kemampuan untuk berkompetisi dengan tenaga kerja lain, disamping kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja baik lulusan pendidikan formal maupun lulusan pendidikan dan pelatihan kerja belum relevan atau sesuai dengan kebutuhan/kualifikasi yang dipersyaratkan. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Depnakertrans bila ada 3 lowongan untuk mengisi kesempatan kerja terdapat 10 orang yang ingin memenuhi kesempatan kerja tersebut, dan setelah diadakan seleksi hanya ada 1 orang yang memenuhi kualifikasi jabatan.

Standarisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja sebagai landasan pengembangan SDM yang berorientasi daya saing dan perkembangan pasar kerja global serta penanggulangan pengangguran perlu segera ditingkatkan dari segi kuantitas maupun kualitas di Jawa Tengah. Dengan dikeluarkannya berbagai standar kompetensi yang tertuang dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indoensia (SKKNI) dari berbagai sektor , sub sektor dan bidang keahlian menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan maupun pelatihan di Jawa Tengah. Untuk mengukur sejauhmana penguasaan kompetensi yang dimiliki oleh peserta didik baik dari pendidikan formal maupun pelatihan kerja serta tenaga kerja sesuai Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2006 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, bahwa pengakuan akan kompetensi standar tenaga kerja dilakukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) independen. Dukungan pemerintah bahwa tenaga kerja diwajibkan mempunyai kompetensi standar yang dibuktikan dengan sertifikasi dari berbagai sektor telah dituangkan dalam Undang-Undang seperti UU no 18 tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi UU 13 thn 2003 tentang ketenagakerjaan, UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional , UU no 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja ke luar negeri sampai kepada UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.

Dengan dikeluarkannya peraturan perundangan tersebut masing masing sektor diwajibkan untuk melaksanakannya termasuk sektor pendidikan. Kondisi saat ini bahwa pelaksanaan penerapan SKKNI dan sertifikasi yang ada di Jawa Tengah belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Lembaga Pendidikan maupun lembaga pelatihan kerja. Jumlah lembaga pendidikan vocational yang jumlahnya mencapai 923 sekolah belum seluruhnya menerapkan SKKNI dan sertifikasi sebagai akhir proses pembelajaran di kelas maupun di workshop. Dengan dikeluarkannya kebijakan baru dibidang pengembangan kompetensi dan sertifikasi yang telah digulirkan oleh pemerintah bahwa pola penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan memakai pola CBT (Competency Base Training) . Program pembelajaran atau pelatihan CBT adalah cara pendekatan pelatihan yang penekanan utamanya adalah pada apa yang dapat dikerjakan seseorang sebagai hasil pendidikan atau pelatihanya .

Kodisi saat ini para pelaksana pendidikan dan pelatihan kerja di Jawa Tengah mayoritas belum menguasahi pola pembelajaran CBT (CBT Awarness). Jumlah tenaga pengajar/guru di sekolah mengenah kejuruan yang mencapai 16.000 orang lebih yang sudah menguasai pembelajaran CBT atau yang telah menerima pelatihan CBT Awarness hanya sekitar 2.700 orang atau kurang lebih 18 % . Sedangkan jumlah Instruktur lembaga pelatihan kerja ada 3.996 orang, 82 % lebih Instruktur belum menguasai CBT. Dengan jumlah instruktur yang begitu besar dan keterbatasan anggaran dari pemerintah yang terbatas maka peningkatan kompetensi guru dan instruktur tidak bisa digarap sekaligus, untuk itu peran swasta dan masyarakat dituntut ikut serta dalam meningkatkan kompetensi tenaga kerja.

Sejalan dengan semangat reformasi dan tuntutan dunia modern dimana peran pemerintah telah bergeser menjadi peran sebagai perumus kebijakan , fasilitator dan pengawasan , maka pemberdayaan masyarakat menjadi model pembangunan nasional dimasa mendatang.

Pengembangan SDM yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah secara bertahap perlu dialihkan kepada masyarakat, dengan mengajak dunia industri Asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, Perguruan Tinggi, pengguna tenaga kerja, Lembaga sertifikasi Profesi, dan lembaga lain dibidang pengembangan SDM untuk didorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengembangan dan peningkatan daya saing SDM serta sertifikasi.

B. KOMPETENSI DI INDONESIA.

Pengangguran merupakan masalah nasional yang dihadapi bangsa kita dalam lima tahun mendatang. Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa jumlah pengangguran mencapai 11,1 juta orang, dengan jumlah angkatan kerja mencapai 106,3 juta (2006) dengan komposisi 69,8% angkatan kerja bekerja pada sektor non formal, sedangkan sisanya 30,2 % bekerja pada sektor formal. Sisi lain di Jawa Tengah dengan jumlah penduduk 32, 9 juta, dimana angkatan kerja 16,267.478 orang dengan tingkat pendidikan, jumlah angkatan kerja mempunyai sebaran lebih kecil dari SD (58,28%), SMTP (17,59 %) SLTA (16,48%) D1-D3 (3,51%), S1-S3 (4,14%).

Dengan komposisi angkatan kerja yang didominir oleh lulusan SD membawa dampak rendahnya produktivitas dan daya saing tenaga kerja di tingkat nasional maupun era global. Akibat rendahnya produktivitas, daya saing usaha di Indonesia terhadap pasar global menjadi sangat rendah. Daya saing usaha disetiap negara dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :

  • Keterbukaan negara yang bersangkutan terhadap perdagangan dan keuangan internasional
  • Kebijakan dan peraturan dibidang fiskal dan moneter
  • Kualitas infrastruktur dan teknologi,
  • Kualitas manajemen bisnis dan SDM pada umunya
  • Kualitas kelembagaan hukum dan politik dan
  • Kualitas pelayanan publik dan peran aparatuir pemerintah pada umunya termasuk menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Komposisi tenaga kerja dapat mencerminkan kemajuan dan kelemahan pembangunan enonomi bangsa kita. Sejak reformasi digulirkan 1997 dan Undang– Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diundangkan, Pemerintah dan pemerintah daerah terus berusaha untuk memenuhi amanat bahwa sebesar 20 % APBN (dan seharusnya juga APBD) dialokasikan untuk pembangunan pendidikan, Kebijakan tersebut merupakan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja (siswa, guru dan tenaga kependidikan). Pemerintah menyadari bahwa tenaga kerja kita masih didominasi oleh tenaga kerja yang berpendidikan SD yaitu sebanyak 53,39 juta (56,23%) dan sisanya sebanyak 43.77% dibagi SLTP 19,55 %, SMTA 18,80 %, Diploma 2,28 % dan Sarjana 3,14 %. Kompetensi yang dimiliki tamatan dari sekolah formal ternyata belum semuanya mampu untuk mengisi kesempatan kerja yang tersedia, sehingga masih membutuhkan leverage (pendongkrak) dalam bentuk pelatihan kerja. Hal ini dibuktikan dengan adanya keluhan dari dunia usaha/industri (sebagai salah satu stakeholders SMK) terhadap keterampilan kerja lulusan. Lulusan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) menunjukkan rendahnya kompetensi untuk bekerja pada bidang keahliannya. Rendahnya kompetensi disebabkan oleh beberapa hal salah satunya dimungkinkan tidak relevannya kompetensi diklat (mata pelajaran) produktivif yang dipelajari disekolah dengan kebutuhan yang ada dilapangan (dunia usaha/industri). Hal ini bisa terjadi karena pada waktu prosesnya SMK berjalan sendiri tanpa mengikutsertakan/melibatkan pihak dunia usaha/industri.

Memang selama ini telah ada hubungan antara dudi dan SMK terutama dalam menyediakan tempat praktek pada pelaksanaan pendidikan sistem ganda (PSG) namun itupun masih dilakukan setengah hati, hal ini ditunjukkan dari masih rendahnya partisipasi insudtri dalam PSG (Khumaedi 2002:59) Atas dasar itu maka seharusnya keikutsertaan dudi sebagai pengguna tidak bisa ditawar tawar lagi. Dengan dibentuknya BNSP ditingkat nasional dan LSP juga belum menunjukkan tanda tanda akan dapat menjamin terhadap kompetensi lulusan mutu SMK, kalau lembaga tersebut tidak bekerja dengan sungguh-sungguh secepat mungkin maka penyiapan kompetensi lulusan SMK tidak akan terwujud untuk menjawab tantangan globalisasi. Sisi lain dengan banyak dipulangkannya tenaga kerja indonesia dan banyaknya permasalahan TKI yang diberikan upah dibawah UMR dinegara tujuan, hal ini, membawa dampak meningkatnya angka kemiskinan dan gejolak sosial. Permasalahan pokok dipulangkannya TKI setelah diidentifikasi salah satunya adalah rendahnya kompetensi TKI yang bekerja di luar negeri. Rendahnya kompetensi TKI yang dikirim keluar negeri disebabkan oleh tidak diberikannya latihan dan disertifikasinya TKI sebelum ditempatkan diluar negeri. Kondisi riil penempatan CTKI diluar negeri dari Jawa Tengah yang telah disertifikasi hanya pada sektor non formal (penatalaksana rumah tangga) sedang sektor formal belum dilaksanakan.

C. KENDALA dan Hambatan

Berdasarkan kondisi riil dari uraian diatas bahwa untuk menyiapkan dan meningkatkan kompetensi tenaga kerja untuk mampu bersaing dipasar global pandangan industri terhadap sistem penyiapan SDm kompeten yang dilakukan melalui pendidikan vokasi dan pelatihan umumnya para lulusan tidak memiliki kmpetensi yang dibutuhkan oleh industri; hasil yang diperoleh para lulusan tidak dapat dipercaya, para pendidik atau instruktur kurang memiliki pengalaman industri dan kompetensi yang dibutuhkan oleh industri dan sulit bagi industri untuk ikut serta dalam menentukan apa yang seharusnya terjadi ditempat pembelajaran baik di kelas maupun di workshop. Pandangan industri menjadi permasalahan dalam penyiapan dan peningkatan kompetensi SDM di Indonesia dan di Jawa Tengah pada khususnya. Kebijakan yang telah digulirkan oleh pemerintah dalam peningkatan kompetensi dan daya saing mutlak dilakukan didalam memenuhi dan menjawab tantangan kebutuhan industri, tetapi implementasi dalam penyiapan dan peningkatan kompetensi SDM sampai kepada pengakuan kompetensi melalui uji kompetensi dan sertifikasi belum sepenuhnya dilakukan oleh para pelaku pendidikan dan pelatihan kerja. Hambatan mengapa pelaksanaan peningkatan kompetensi dan pemberian pengakuan akan kompetensi serta sertifikasi antara lain belum siapnya para pelaku transformasi kompetensi seperti guru, instruktur, trainer dalam memberikan pembelajaran kompetensi sesuai dengan standar (SKKNI dan CBT); kesiapan lembaga sertifiksi profesi dalam melakukan uji kompetensi dan sertifikasi untuk berbagai bidang keahlian, kesiapan asesor dalam melaksanaan uji kompetensi; kesiapan lembaga pendidikan, lembaga pelatihan dan insdustri sebagai tempat uji kompetensi.

D. SOLUSI

Keprihatinan Kadin Jawa Tengah dalam membantu menyiapkan tenaga kerja kompeten khususnya dari sekolah menengah kejuruan melakukan diklat produktif yang dilakukan bersama dengan MPKP dan MPKD belum membawa dampak yang berarti dalam penyiapan dan peningkatan SDM berkompeten. Perkembangan standar kompetensi tamatan SMK yang dirancang menjadi tiga komponen yang merupakan satu kesatuan yang saling berkait dalam membentuk lulusan yang mempunyai kompetensi normatif, adaptif dan produktif. Sisi lain rendahnya kompetensi dan daya saing SDM termasuk penyiapan tenaga kerja kompten dari lembaga pelatihan terke termasuk CTKI yang akan bekerja keluar negeri belum ditangani secara serius mulai dari pelatihan sampai dengan sertifikasi. Mengingat diklat produktif dalam pelaksanaannya perlu melibatkan dunia usaha/dunia industri serta untuk menangani peningkatan kompetensi SDm termasuk sertifikasi maka pemerintah provinsi Jawa Tengah membentuk organisasi eksternal yang fungsinya berkaitan erat dengan pembinaan, pengembangan dan pengendalian pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di SMK serta peningkatan kompetensi SDM, yaitu Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP) .

 

 

Artikel Pilihan

Kadin Jateng Gelar Lomba Ide Muda

09-09-2012
  SEMARANG, suaramerdeka.com - Dalam rangka mendorong gerakan kebangkitan kewirausahaan untuk generasi muda, Kadin Jateng akan menggelar Lomba Wirausaha Muda. Tujuannya untuk menciptakan generasi m... Read News

Kerjasama Dengan Pemerintahan

11-04-2012
No. Logo Nama     1.     Kadin Jawa Tengah       2.       Pemerintah Jawa Tengah ... Read News

Kegiatan Bulan Juli - Agustus

11-07-2011
RAPAT PERENCANAAN KERJASAMA GiZ – BKSP JATENG DALAM KOMPONEN 4 : Strengthening the National   TVET  Competency Certification System, tanggal 8 Juli 2011 untuk merencanakan kickoff worksho... Read News

BKSP Jawa Tengah

01-06-2011
Dalam era globalisasi pasar kerja, masih dihadapkan berbagaii permasalahan, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yang ditandai dengan angka pertumbuhan kesempatan kerja yang tidak sebanding deng... Read News

CBT

07-06-2012
BKSP Jawa Tengah bekerjasama dengan IHK Jerman terkait program kegiatan CBT (Competensi Based Training) di ruangan Pelatihan BKSP Jawa Tengah, yang diikuti 21 peserta dari POLINES, AAK - AKAFARMA, SMK... Read News

Link Terkait








Lowongan Kerja


Artikel Terkait